Bengkulu, wwwjejakdaerah.com -Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu berkolaborasi bersama sejumlah elemen CSO, mahasiswa, dan aktivis, pada Selasa, 8 September 2020 menggelar aksi simpatik di kawasan Bundaran Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu untuk menolak omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) cipta kerja.
Pada aksi yang digelar pada pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB tersebut, selain ada aksi teatrikal juga ada pembagian poster kepada masyarakat.
Seperti dikatahui, sejak awal tahun 2020, Aliansi Jurnalis Independen telah menyuarakan penolakan atas Rancangan Undang Undang Omnibus Law yang digodok pemerintah dan DPR.
Bagi AJI, Omnibus Law berpotensi menjadi masalah penting bagi praktik jurnalisme di Indonesia. Ini dikarenakan masuknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam komponen yang direvisi, yakni pasal 11 dan 18.
Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja adalah produk hukum yang disusun menggunakan konsep omnibuslaw. RUU Cipta Kerja sejak awal hingga saat ini menuai protes besar dari hampir seluruh elemen masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Petani, buruh, mahasiswa, nelayan, masyarakat adat, penggiat isu lingkungan, HAM dan agraria, juga penggiat isu perempuan dan anak menolak RUU Cipta Kerja yang roh nya adalah percepatan investasi berbasis modal ini.
Omnibuslaw RUU Cipta Kerja adalah salah satu bentuk kekerasan terbuka yang dilakukan negara, sebab proses penyusunan RUU ini tidak melibatkan elemen masyarakat, bahkan diawal, akses informasi terhadap draf begitu tertutup. Secara substansi, RUU Cipta Kerja juga tidak berangkat dari kepentingan dan kebutuhan rakyat. Roh RUU ini adalah investasi skala besar berbasis modal. Maka, keselamatan lingkungan, keselamatan rakyat, kesejahteraan buruh, kebebasan berekspresi, hak veto rakyat, kesejahteraan petani dan nelayan serta kedaulatan rakyat dan masyarakat adat atas ruang hidupnya menjadi tidak penting lagi.
Fakta-fakta itu cukup menjadi alasan bagi kami, dan kita semua untuk menyatakan sikap menolak omnibuslaw RUU Cipta Kerja.
Dalam kacamata AJI, RUU ini sangat berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis. Contohnya dalam Pasal 11 UU Pers. Jika sebelumnya berbunyi “Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.”
Maka, dalam RUU Omnibus Law menjadi, “Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”
Pengubahan pasal ini berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini.
Salah satu Aktivis Lingkungan M. Frengki Wijaya mengatakan semoga aksi penolakan ini terus berlanjut dan berharap Kepada Seluruh elemen masyarakat untuk juga ikut terlibat dalam penolakan omnibus law.
” Semoga aksi penolakan ini terus berlanjut, karna terkait dengan keselamatan lingkungan, keselamatan rakyat, kesejahteraan buruh, kebebasan berekspresi, hak veto rakyat, kesejahteraan petani dan nelayan serta kedaulatan rakyat dan masyarakat adat atas ruang hidupnya menjadi tidak penting lagi” tegas Frengki
Perubahan poin-poin dalam pasal yang ada saat ini jelas melanggar semangat UU Pers sebelumnya, yang mengatur bahwa sengketa pers lebih didorong pada upaya korektif dan edukasi. Jika pun berkaitan dengan denda, maka itu dibuat seproporsional mungkin. Dengan kata lain tidak bermaksud untuk membangkrutkan perusahaan pers.
“Karena itu AJI konsisten menolak RUU Omnibus Law. Kami menduga keras ada upaya kembali memasukkan campur tangan pemerintah dalam dunia pers,” ujar Ketua AJI Bengkulu Harry Siswoyo. [Red/ Rls)