_Oleh: Zacky Antony_
Bengkulu, www.jejakdaerah.com – Sudah lama publik curiga ada bisul di KPK. Tapi sulit dibuktikan, karena bisul tertutup pakaian kebesaran yang tebal. Cuma aromanya yang ada. Di balik hingar bingar demokrasi yang dijalani bangsa ini, bisul itu makin tidak kelihatan. Aromanya lalu tertiup jauh oleh kepakan-kepakan sayap KPK saat menangkap sejumlah tersangka koruptor kakap. Level menteri dan kepala daerah.
Tapi yang namanya penyakit tetap tak bisa disembunyikan. Bisul adalah jenis penyakit yang sangat mengganggu kenyamanan. Makin lama bisul makin membesar. Tepat di salah satu titik, tiga hari lalu (22/4), bisul itu meletus. Mengeluarkan nanah. Tentu saja baunya busuk dan anyir.
Penyidik KPK, AKP. Stepanus Robin Pattuju (SRP), diduga menerima suap dengan total Rp 1,3 miliar dari Walikota Tanjungbalai, M Syahrial. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi dan penerima suap. Dan sudah ditahan. Bersama keduanya, ikut menjadi tersangka pengacara Maskur Husain.
Sebelumnya KPK memang sedang melakukan penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai. Kasus yang sedang dibidik adalah dugaan jual-beli jabatan. Dari sinilah bisul itu mulai kelihatan. Sang penyidik KPK menjanjikan kepada Walikota Tanjungbalai bahwa kasus bisa distop. Tentu bukan asal dihentikan. Ada komitmen di balik rencana busuk tersebut. Apalagi kalau bukan fulus. Besarnya cukup fantastis. Rp 1,5 miliar.
Terdesak dengan kasus yang sedang membelit, sang Walikota menyetujui permintaan penyidik KPK. Bisul itu kian membesar setelah transfer bertubi-tubi masuk ke rekening penampung.
Sebanyak 59 kali transfer. Ditambah pemberian tunai, sehingga total uang yang diterima sang penyidik Rp 1,3 miliar. Pemilik rekening bukan atas nama sang penyidik KPK, tapi atas nama orang lain. Modus umum gratifikasi biasanya memang seperti itu.
Dengan keyakinan yang tinggi, setelah uang diterima, sang penyidik menegaskan jaminan kepastian kepada Walikota Tanjungbalai bahwa kasus tidak akan ditindaklanjuti oleh KPK. Dia berani menjamin, tentu tidak asal berani. Hal lain-lain sudah dibereskan secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Atas perannya, Maskur lalu mendapat jatah Rp 325 juta dan Rp 200 juta.
Tapi dasar bisulnya sudah kebelet. Maklum, bibit bisul itu sudah muncul sejak Juli 2020. Sembilan bulan lalu, Maskur mengusulkan kepada sang penyidik agar dibuat rekening penampung atas nama orang lain; Riefka Amalia. Sang pemilik rekening tak mau masuk penjara. Ketika diperiksa KPK, dia menceritakan yang sebenarnya. Byaarrrr!!!! Meletuslah bisul itu.
Percikan nanah bisul di KPK sejauh ini mengenai muka tiga orang. Tapi belakangan terungkap, percikan ini juga mengarah ke gedung senayan. Nama salah satu pimpinan DPR, Azis Syamsudin, disebut-sebut punya peran di balik lahirnya komitmen penutupan kasus Tanjungbalai. Azis, disebut ketua KPK, mempertemukan sang penyidik dengan sang walikota.
Pertemuan di rumah dinas pimpinan DPR itu terjadi tiga bulan setelah rekening penampung dibuka atau Oktober 2020. Azis sendiri sejauh ini belum memberikan klarifikasi terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus ini. Bila benar dia mempertemukan penyidik KPK dan walikota, Azis bukan hanya bisa dituduh melakukan pelanggaran etika sebagai wakil rakyat, tapi juga bisa terciprat nanah letusan bisul.
Letusan bisul di KPK ini mengingatkan publik akan bisul besar di MK. Tapi bisul di MK itu memang lebih parah. Bukan hanya besar, tapi bisulnya tumbuh di bagian kepala MK. Letusan bisul-bisul MK itu sudah menyeret sejumlah nama kepala daerah. Suami istri lagi. Ada walikota Palembang beserta istri. Ada Bupati Empat Lawang beserta istri. Dan sejumlah nama-nama beken lainnya.
Kendati bisul di KPK ini belum sebesar bisul di MK (dulu), namun bisul ini harus segera disembuhkan. Setelah pecah, pemulihan luka akibat bisul tersebut harus dilakukan secara jitu. Jangan sampai muncul bisul-bisul baru. Kejadian ini setidaknya memberi pelajaran bahwa KPK yang begitu dipuja, bukanlah malaikat. Sebagai institusi, KPK tetaplah lembaga yang harus diawasi karena berisi banyak orang dengan beragam latarbelakang dan kepentingan.
Kita masih bisa berharap, karena bisul kali ini tumbuh di tingkat penyidik. Kalau bisul muncul di kalangan komisioner (seperti terjadi di MK dulu), maka saya hanya bisa berucap: Selamat tinggal penegakan hukum.
Lalu, apakah masih ada bisul-bisul lain di KPK? Mungkinkah ini hanya bisul yang ketahuan saja karena kebetulan meletus? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Salam hangat dari bumi Rafflesia untuk Indonesia yang tercinta.
*_Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua PWI Provinsi Bengkulu_*