Oleh : Fromes Media Bagite
Aku yang pernah melawan lemahnya hati, menolak rasa itu dan pergi meninggalkan keadaan.
Semuanya berubah ketika suamiku pulang larut malam bahkan subuh menjelang, aroma alkohol tercium dari mulutnya. Ia menjadi pecandu Narkoba dan Alkohol. Menyebabkan ia bertahan tidak tidur selama dua hari dua malam dan tidak ada nafsu makan.
Rasa menghargai itu tak ada lagi, rasa cinta pun beralih entah kemana. Mata dengan tatapan kasih itu tak pernah kutemui lagi. Aku berjuang untuk pernikahan ini, untuk tetap dirumah ini demi buah hatiku, aku berjuang secara ekonomi dan finansial.
Gruubakkk…. terdengar suara pintu rumah terbuka, disusul deru motor. Jam dinding menunjukkan pukul 2 pagi, aku tergopoh-gopoh keluar dari balik kelambu tempat tidur. Rambutku acak acakan, dasterku berbau ompol dan air susu. Aku menuju ruang tengah dan menghidupkan lampu ruang tamu dan membuka pintu.
“Uaakkk…uakkk…. ” terdengar rintihan suara, muntah berserakan di lantai, suamiku terbaring di ambal depan televisi. Aku bergegas ke dapur, mengambil air memberinya minuman asam, “Minum ini dulu a’ biar berkurang mualnya” kataku sambil menempelkan gelas air ke bibirnya.
Tiba-tiba tangannya menghempas gelas itu di lantai. Rambutku dijambak, ia berusaha bangun dan terjatuh lagi, kelihatannya ia mabuk berat, bau tuak menyengat dari mulutnya. “Menjauh …bodoh!” hardiknya.
Sambil terisak aku membereskan muntah dan juga pecahan gelas di lantai. Lalu aku kembali ke dalam kelambu mengambil selimut dan bantal untuk suami ku, menyalakn racun nyamuk elektrik, itu saja yang bisa kulakukan sebab aku tak kuat untuk mengangkatnya ke dalam Kamar.
Aku kembali lagi ke dalam kelambu untuk memeluk anak-anakku, hanya merekalah yang membuat aku bertahan dirumah ini. Semua tidak yang seperti aku bayangkan ketika aku memutuskan meninggalkan pekerjaan ku, melepas masa lajang dan memilih hidup bersama seseorang yang menjadi imamku.
Aku bermimpi membina rumah tangga itu adalah bahagia penuh canda tawa seperti masa pacaran, yang seolah enggan pergi jauh darinya menghabiskan malam bersama. Semua itu mimpi semu!.
Sayup-sayup adzan subuh terdengar aku terjaga, membersihkan diri dan melaksanakan kewajiban sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan Nya. Selesai shalat subuh, aku melanjutkan tugas rutinku sebagai ibu rumah tangga yakni memasak dan mencuci.
Tak lama kemudian, Dilla anak sulungku sudah bangun dan menyiapkan buku sekolahnya. Ia duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Meskipun ekonomi kami kurang baik aku tetap menyekolahkan anak ku di sekolah dasar favorit yang terakreditasi A, salah satu SD di Kampung Bali.
Nida putri kedua ku keluar dari kelambu menuju depan TV, ia baru berusia 4 tahun. Kadang aku kasihan melihatnya, setiap hari harus ikut berjualan seharusnya ia sudah duduk di PAUD kelas bermain.
Sayup terdengar suara Soleh bayi ku yang berumur 9 bulan merengek. Aku masuk ke kamar untuk menyapihnya. Sejak usia satu bulan Soleh sudah kugendong mengendarai motor. Hal yang amat sangat tidak wajar, tapi jika tidak begini siapa yang akan mengasuhnya di rumah dan tidak ada juga yang akan mengantarkan Dilla sekolah.
Memang jarak sekolah itu cukup jauh dari rumah kami, sehingga aku punya ide untuk berjualan mainan anak-anak di depan sekolah anakku, karena murid di sekolah ini cukup banyak. Alhamdulillah.. rezeki yang kudapat bisa mencukupi kebutuhan dapur dan jajan anak.
Riuh tawa canda, rengekan anak-anak membuat aku selalu berfikir bagaimana menyelamatkan perut siang ini dan esok hari. Kami sarapan dengan sebungkus indomie dicampur nasi. Mungkin kurang bagus untuk kesehatan tapi selain hemat ini cukup praktis bagiku.
Saat kami keluar rumah mengantar putri sulungku ke sekolah, suamiku masih nyenyak tidurnya, tentu saja kami tidak berpamitan agar tidak mengganggu tidurnya, sebab ia akan marah kalau dibangunkan dari tidur lelapnya.
Aku menggunakan motor merk Honda 125 cc, bayiku digendong dengan gendongan kanguru di depan. Nida ditengah dan Dilla dengan seragam lengkap dan tas di belakang. Mereka sudah menggunakan jaket agar tidak kedinginan, sebab hari masih cukup pagi.
Aku menggantungkan asoy daganganku di bagian depan. “Bu… kalau ibu dapat uang nanti kita bikin ayam goreng” putri kedua ku mengoceh di perjalanan. “Iya sayang, kakak mau juga kan?” tanyaku pada Dila sambil menjawab permintaan adiknya tadi. “Iya Bu, pakai crispy kayak iklan di tv, pakai tepung sajiku, Dila bersemangat. Aku hanya bisa berdo’a dalam hati semoga aku selalu sehat dan kuat menghadapi keadaan ini.
Setiba di depan gerbang sekolah aku menggelar dagangan. Aku berjualan mainan anak-anak di depan sekolah. Lumayan untuk tambahan belanja dapur. Bukan sekedar tambahan tapi harapan untuk melanjutkan suapan nasi kemulut anak-anak ku. Sebab hampir dua tahun ini suamiku pengangguran kelas berat.
Bersyukur adalah salah satu cara menjauhkan perasaan yang kurang berkenan di hati. Menikmati betul peran sebagai ibu. Bahagia menyimpan air mata di tengah lelahnya hati, ketika pendamping tempat mengadu dan berpaut justeru adalah seorang yang membuat hidup ini semakin berat.
Kekecewaan Aku bertambah ketika ada wanita lain yang lebih diistimewakan di luar sana. Seorang pramuria kelas teri mungkin terlihat lebih cantik dan menarik ketimbang aku yang menghabiskan waktu untuk mengurus ketiga anaknya dan mencari nafkah dengan modal seadanya.
Perempuan itu hanya merawat dirinya saja, tentu saja suamiku bisa bermanja-manja dipelukannya. Ketika isu dari para tetangga muncul tentang kedekatan suamiku dengan perempuan itu, aku selalu meyakinkan diri dan menangkis pernyataan itu.
“Siapa yang mau suamiku pengangguran dan tidak punya uang” selorohku menjawab isu miring tentangnya. Aku tidak pernah mengeluh dengan keadaan ekonomi ini, juga hobinya mabuk-mabukan. Hanya sesekali aku ingin bertukar pikiran ketika tunggakan listrik datang karena aku kebetulan tidak pegang uang. Berharap suamiku peduli dan memberi jalan.
Aku tetap saja berupaya agar kilometer listrik di rumah ini tidak dicabut pihak PLN. Lelah ini luar biasa sebab saat pulang dari sekolahan aku biasanya ke pantai membeli ikan dari Nelayan yang baru pulang dari laut. Menjajakannya di komplek perumahan hingga ke pasar kaget yang buka khusus sore hari di Pematang Gubernur.
Jika saat berjualan si kecil tidur, maka aku tinggalkan di rumah agar dijaga oleh kedua kakaknya. Namun jika dia terjaga maka akan kugendong dan ikut berkeliling menjual ikan. Dila dan Nida masih sangat belia untuk menjaga adiknya. Sebenarnya amat belum wajar hanya saja tak ada pilihan lain.
Meskipun bapaknya ada dirumah juga tidak terlalu peduli. Aku pulang dengan wajah berseri-seri membawa kantong asoy kresek dengan seloyang martabak, cabai dan sayur. Ember ikan ku sudah kosong, daganganku laris hari ini. Kalau tidak habis biasanya aku membelah ikan tersebut membubuhinya garam, lalu menjemurnya esok hari untuk dijadikan ikan asin. Sebab kami tidak punya Kulkas di rumah.
“Lama sekali….. anak ini sudah menangis dari tadi mau menyusui” omel suamiku ketika aku memasuki rumah. Setelah mencuci tangan dan meletakkan barang bawaan ku tadi aku langsung menyapih putraku. Wajah lelahku tak bernilai, aku merasa sangat tidak berharga, namun menatap mata anak-anak, aku melupakan kekecewaan itu. “asyik…mama bawa martabak” terdengar Nisa dari dapur. “wah….Inga suka sekali martabak kacang” sahut Dilla.
Aku tersenyum dibalik kekecewaan ini, ternyata merekalah yang lebih membutuhkan aku, “kamu harus kuat Mei, jangan menyerah!” gumamku dalam hati.
Malam menjelang, televisi berukuran 15 inci inilah yang bisa menghibur dirumah ini “Film action malam ini bagus loh a’…” aku membuka suara membujuk suamiku agar tidak keluar malam ini.
Aku memoles bibirku dengan lipstik, memakai bedak dan alis, menyemprotkan pewangi pakaian agar aromaku wangi. Aku berharap suamiku tertarik padaku dan merasa bahwa aku pernah cantik, seperti ketika ia bertemu denganku dulu, saat aku masih menjadi salah satu karyawan penjual kosmetik di sebuah minimarket.
Kami berbaring di depan televisi, anak-anak sudah tidur, hanya saat seperti ini aku berharap ada keromantisan antara kami. “Agkh..berulang kali juga sudah diputar!” jawab suamiku tak berselera dengan tawaran nontonku. “Mau dimasakin Indomie goreng a’?” aku mengganti topik pembicaraan.
Suamiku mengangguk, akupun bergegas ke dapur. Lima belas menit kemudian aku menyiapkan sepiring indomie goreng untuk suamiku. Ia melahap habis indomie tersebut tanpa menoleh lagi, apa lagi menawarkan dan menanyakan. “Ibu sudah makan!.
Aku menepis prasangka dihati, sebab aku hanya membawakan untuknya saja, tapi aku berharap suamiku menyuapi ku sambil tersenyum seperti ketika kami masih pacaran dulu.
“Tidurlah…aku keluar dulu, cari rokok” suamiku beranjak membuka pintu rumah tanpa meminta persetujuanku. Menyalakan motornya dan berlalu. Aku hanya termangu dan merasa gagal membendung keinginanya. Aku tahu Ia akan pergi kemana.
Suamiku menemui pacarnya, mengantarkannya untuk bernyanyi ria di tempat karaoke, menjadi pramusaji dan pemuas laki-laki hidung belang. Sembari menunggu pacarnya bekerja suamiku menegak alkohol sisa dari minuman tamu pacarnya.
Dibenakku berpikir, yang paling aku khawatirkan adalah jika suamiku berzina dengan pacarnya. Sebab resikonya sangat besar jika tertular penyakit kelamin seperti Aids dan HIV, jika ia tertular kemungkinan besar yang akan terjadi adalah aku akan tertular juga.
Sakit.. sekali membayangkannya, tetapi aku selalu berbesar hati karena aku merasa bahwa aku lebih berharga daripada wanita itu. Sebab aku dilamar dan dinikahi baik-baik. Kami mempunyai anak dan lingkungan serta masyarakat dan juga status kependudukan yang jelas. Itu saja hal yang aku nilai untuk membesarkan hatiku.
Hanya dengan menangis adalah salah satu cara yang bisa aku lakukan saat ini. Hingga mampu terlelap mengantarkanku pada esok hari dengan cerita yang lebih baik.
Hujan Deras Petir Menggelegar
Hujan deras, petir menggelegar, dan kilat menyambar pertanda hujan lebat segera tiba. Anak-anakku terlelap di kelambu yang sudah pudar warnanya. Kelambu ini seingatku dibagikan di puskesmas ketika aku mengandung putri sulungku. Dinginnya udara malam itu karena sudah hampir tiga hari cuaca tidak bersahabat.
Aku gelisah melihat butiran nasi yang tidak sampai sepiring lagi di dalam magicom. Harapan satu-satunya adalah subuh besok membawa dua ekor ayam di kandang belakang rumahku ke pasar pagi. Ayam inilah tabunganku, karena merawatnya tidak terlalu sulit dan tidak dibutuhkan modal yang besar.
Malam itu, suamiku asyik bersenda gurau dirumah tetangga dengan kartu remi di tangan, sesekali terdengar mereka tertawa lepas ketika hujan sedikit reda. Laki-laki dan perempuan berkumpul disana, Tuak (air nira yang sudah difermentasi) terhidang bebas dikonsumsi.
Beginilah tinggal di Kampung Nelayan, jika musim hujan dan badai kebanyakan warga hanya berkumpul-kumpul mulai dari main remi, domino, bahkan minum-minuman keras seperti tuak.
Tiba tiba pintu rumah diketuk, aku membuka pintu. Terlihat Bang Anwar teman suamiku berdiri didepan pintu. Aku berharap bang anwar membawa berita gembira, bisa mengajak suamiku bekerja ikut kapal nelayan. Pikirku tak mengapa ia berminggu di laut daripada di darat ulahnya tidak menentu.
“Assalamualaikum, ada bapak Nida dirumah?” tanyanya. “Waalaikumsalam, duduk Bang, sebentar aku panggilkan. Dia lagi main di sebelah” jawabku ramah sembari menawarinya menunggu di teras rumah.
Aku mengetuk pintu tetangga sebelah, suami ku ada didalam sana. Pintu terbuka separuh, seorang perempuan rambut sebahu dengan pakaian minim mengganjal pintu, asap rokok menyeruak di sela-sela pintu. “Maaf Rosa, tolong panggilkan ayah Nida, ada tamu dirumah” pintaku kepada perempuan itu.
Rambut Rosa kusut diikat membentuk sanggul tubuhnya lebih pendek dariku, ia berkulit putih, kulihat tangannya memegang kantong plastik Rosa menghisapnya, menatapku dengan mata sendu rupanya ia menghisap lem aibon.
“Tidak usah di susul segala, nanti aku pulang!” teriak suami ku dari dalam. Rosa pacar suamiku pun berujar dan sambil tertawa “ hahaha….aku pakai dulu laki mu” sembari ia membanting pintu dengan keras.
Aku menunduk pulang. Perasaanku sangat berkecamuk, yang paling perih bukan karena suamiku menduakan aku dengan perempuan lain. Karena aku merasa perempuan itu tidak lebih baik dariku.
Perasaan yang paling pedih adalah kenapa aku sama sekali tidak berharga di matanya, nasehatku pun tidak ia dengar, padahal tujuanku baik agar tidak terlalu jauh terjerumus ke lembah dosa.
“Sudah biar Abang yang kesana” Bang Anwar membaca keadaan dan bergegas menuju rumah yang berjarak hanya 8 meter saja dari rumahku. Bedengan 5 pintu nomor 2.
Aku masih duduk diteras menatap ke ujung langit yang kelam.
“Jangan melamun” tiba tiba Abang anwar sudah disampingku, aku tersenyum. “ Abang mau mengajak Rahmat menjadi anak buah kapal abang lagi, tapi ia belum siap! Kalau cuaca bagus mungkin Rabu kami berangkat” sambung abang Anwar menjelaskan maksudnya.
“Entahlah bang…. Abang lihat sendiri kelakuannya sekarang!, gumamku.
Istri bang Anwar adalah sepupu suamiku. “Abang sudah berulang kali menasehatinya, begitu juga ayukmu di rumah, tapi rasa kesadaran Rahmat masih jauh sekali, ya sudah abang pulang dulu. Besok pagi abang kesini lagi siapa tau Rahmad berubah pikiran, sekarang ia sedang mabuk.
Abang Anwar menghidupkan motornya lalu pulang. Hatiku benar-benar gelisah hari ini, tak berujung tak bertepi.
Malampun Semakin Larut
Semenjak suamiku keluar dari rumah hingga larut malam pun menjelma belum ada tanda dia pulang ke rumah. Aku melamun, menatap langit-langit kamar, tripleknya sudah menganga sebagian. Rumah ini pemberian mertuaku saat kami menikah dulu. Sudah 8 tahun semenjak diberikan tidak pernah direnovasi bahkan diganti cat sekalipun.
Tiba-tiba terdengar pintu rumah dibuka paksa, suamiku masuk sambil berlari ke arah dapur dan menghilang dibalik gelap semak dan rawa belakang rumah. Aku menutup pintu dapur dengan perasaan cemas. Aku mengintip di celah papan rumahku, polisi ramai sekali mengepung rumah Rosa, pacar suamiku.
Terdengar riuh sekali diluar. Kulihat beberapa orang digiring ke mobil Polisi. Tok..tok..tok…pintu rumah diketuk. Aku bergumam dalam hati, pasti polisi!.
“Selamat malam Bu, maaf mengganggu” kulihat seorang laki-laki tinggi besar dengan rambut gondrong berdiri didepan pintu. Aku tahu Ia seorang Intel dari kepolisian. “Selamat malam Pak, ada yang bisa saya bantu?” jawabku sedikit gugup.
“Kami mencari seseorang, izinkan kami menyisiri rumah ibu!. pria itu berkata sambil memberi kode kepada yang lain, aku mengangguk dan menggeser posisiku dari pintu. Ada lima orang masuk kedalam rumah, kamar dan lemari.
Hingga kamar mandi pun tak luput dari pantauan mereka. Bahkan membuka pintu dapur dan melihat area belakang rumah. Aku masih terpaku diam di sisi pintu, untung anak-anak sudah tidur sejak sore.
“Terima kasih atas kerjasamanya Bu. Permisi.., mohon diinfokan kepada suaminya, menyerah saja nanti bisa urus rehab ” polisi dengan rambut gondrong berkuncir itu menyampaikan kepadaku.
Aku hanya menunduk, lidahku kelu. Rombongan polisi itu keluar dari rumahku. Cahaya mobil Patroli yang digunakan rombongan polisi itu berkelebat di sekitar tempat tinggal kami.
Aku lihat ada Pak Rt dan warga yang lain diluar. Aku menutup pintu, hatiku kian gelisah suamiku buronan polisi, ternyata suamiku mengkonsumsi narkoba bersama pacarnya.
Sejauh itu dia tersesat Ya allah, dadaku sesak tubuhku seperti dihimpit benda yang amat berat, berat sekali, aku hanya bisa menangis.
Hari masih agak gelap, pedagang sayur berseliweran menuju pasar pagi, nelayan pun bergegas ke laut. Aku membawa motor menuju tepian sungai. Aku tahu malam tadi suamiku berlari kesana.
Setiba di sebuah pondok tepian sungai aku mematikan motor berjalan ke dermaga buatan tempat Nelayan mengikat sampannya. Bahkan ada kapal juga. Dermaga darurat yang terbuat dari bambu itu berdecit ketika kuinjak. Sesampai di ujung aku berteriak menghadap ke hulu dan hilir sungai “Aakkk…..!” aku memanggil suamiku.
Suaraku bergema menggaung di sungai itu. Sungai ini adalah muara yang menuju ke laut. Aku menunggu lima menit tidak ada sahutan. Akhirnya aku kemudikan motor ke atas jembatan agar lebih leluasa mataku melihat ke arah sungai. Tatapanku tertuju ke balik pelepah daun rumbia, ada sampan kecil terombang ambing disana. Dari warna baju yang dikenakan aku mengenali itu suamiku.
Aku bunyikan klakson motor beberapa kali agar matanya melihat ke arah Jembatan . Benar saja ia melihatku, terlihat ia melepaskan ikatan tali sampannya mendayung perahu ke arah dermaga buatan tadi, itu sampan milik mertua abang Anwar suamiku memanggilnya Pak dang Dul, masih saudara sepupu mendiang Mertuaku.
Aku menyusul kesana, menyongsongnya dengan berlinang air mata, menyesali betul apa yang terjadi padanya. Aku menyayanginya melebihi diriku, aku merasa kasihan sekali melihatnya. Mukanya pucat, ia pasti ketakutan juga kedinginan tadi malam. Aku memeluknya, menangis.
Tiba-tiba ia mendorong tubuh mungilku hampir saja aku terjatuh “Semua ini gara-gara kamu, hardiknya. “Kau sengaja menelepon polisi karena kamu tidak suka hubunganku dengan Rosa kan?” sambil berkata tangannya menyentuh wajahku.
Aku sempoyongan dan hampir terjerembab di tanah. Belum sempat berdiri ia menarik jilbabku, hingga rambutku terasa akan lepas dari kepala. “Sok suci kamu!” aku tersungkur ke tanah, wajahku lebam menahan tangis.
Sakit di wajah dan kepalaku tidak terasa karena saat ini perasaanku lebih terkoyak-koyak dalam sekali. Seakan-akan langit di sekelilingku gelap tanpa ada tanda-tanda cahaya matahari. Tanpa ada belaian angin, semuanya mencekam. Aku berdiri tertatih “Maaf kan adek a’ ” gumamku lirih selalu begitu.
Ketika ia berbuat kasar dan marah padaku, aku yang meminta maaf agar marahnya tak menjadi-jadi. Ia menghidupkan motor, kami pulang kerumah. Aku tahu si bungsu pasti sudah menangis, dan kedua anak ku yang lain bingung mencari ibu dan ayahnya.
Suamiku menuju kamar tidur tanpa beban dan perasaan bersalah sepertinya ia sangat mengantuk. Aku menyapih putra bungsuku, lalu beranjak menyuruh anak-anak mandi. “Bu, pinggiran mata Ibu biru, ada apa?” selidik putri sulungku, rupanya ia memperhatikan ada yang lain diwajahku. “Sakit Bu?” tanya putri kedua ku polos. “Nggak apa-apa. Ibu jatuh dari motor tadi” aku berbohong kepada anak-anak ku, lalu memeluk mereka erat.
“Assalamualaikum” terdengar ada orang diluar.aku membuka pintu “ waallikumusallam” jawab ku. aku melihat Fariza anak sepupu suamiku berdiri di depan pintu. “ masuk za…” Fariza masuk ke dalam “ ada oom di rumah? “ tanya Fariza “ ada…sebentar tante bangunin lagi tidur” jawabku “ nggak usah tante, iza kesini cuma nyampein pesan papa aja, tadi papa telepon nomor oom nggak aktif!”.
“Oh iya …nggak pernah ngisi pulsa jadi kartunya terblokir..hihi” ujarku “ Papa pesan, oom urus rehab saja..gratis tidak dipungut biaya asal ada niat, Nama oom sudah diincar sebagai target di kepolisian.
Kalau rehab dan mau berubah tidak bakal dipenjara, oom diduga jadi pecandu narkoba jenis sabu” jelas Iza panjang lebar.
Iza sedang kuliah di sekolah Kesehatan semester V, Mama Iza adalah sepupu suamiku dan Papanya bekerja di BNN Provinsi Bengkulu. “ iya….terimakasih banyak udah repot repot kesini, nanti tante omongin ya, semoga saja oom punya niat untuk sehat dan berubah” “ aamiin…. Iza permisi dulu ya tante, oh iya satu lagi”
Iza mendekatkan mulutnya ke telingaku sedikit berbisik” oom kalau bisa jangan pulang kerumah, mengungsi aja dulu, karena polisi masih mengincar nya,” Aku tertunduk malu, tau semua kelakuan suamiku diluar dari orang lain, betapa bodohnya aku tidak mampu menjaga dan merawat suamiku dengan baik.
Langit tenang sekali malam itu, purnama memancar cerah
Langit tenang sekali malam itu, purnama memancar cerah. Gelisah telah kubuang jauh, ku bina lagi harapan dalam doa setiap sholatku. Setelah kejadian itu suamiku jarang pulang kerumah, terkadang ia tidur di perahu Nelayan yang ada rumah-rumahnya, terkadang ia menginap di kontrakan adiknya di arah Pulau Bai.
Hidupnya lebih kacau dari sebelumnya, ketakutan membuatnya tak nyaman jangankan untuk mencari kerja untuk tidur pun ia tidak nyaman, seakan akan dikejar polisi. Aku setiap hari mengantarkan Nasi dan pakaian bersih untuknya.
“Inilah a’ kelakuan Aa’ akhirnya kita sekeluarga bertambah kacau, coba diingat anak kita masih kecil butuh perhatian dan kasih sayang, dan semakin besar nanti biaya pendidikan juga tidak murah.
Siang itu di tepi sungai tempat persembunyian suamiku aku mencoba menasehatinya. “bukan Aa’ yang salah, si Frengki yang berniat jahat sengaja menjebak kami agar ditangkap polisi” suamiku menjawab seolah dirinya sama sekali tidak sedang terlibat dalam masalah yang serius. Tak ada bayangan untuk mengubah perilakunya.
Aku tertidur selepas sholat Isya. entah mengapa saat tengah malam perutku sakit sekali, aku keluar kamar menuju dapur, saat membuka pintu tengah aku mendapati suamiku sedang mencumbui pacarnya disana.
Iya di dapurku suamiku bercumbu dengan pacarnya. Aku tak sempat untuk berbuat apapun karena perutku memang sakit sekali. Grubak..dor..dor..dor…suamiku menendang pintu kamar WC bukannya merasa malu tapi ia marah-marah dan mengomel tak tentu.
Aku diam saja sambil melanjutkan hajatku. Selepas itu aku keluar dan akan menuju ke kamar lagi melanjutkan tidurku, aku seolah tidak ingin tahu apa yang mereka lakukan di rumahku dengan masuk dari pintu belakang.
Sakit luar biasa yang kurasa perlahan memudar, aku selalu memaafkan kelakuannya. Tiba-tiba Ia sudah berdiri didepanku, menarik kerah bajuku hingga wajahku bertatapan dekat dengannya, aku tahu mereka sedang mabuk. Bau alkohol begitu menyengat keluar dari hembusan nafasnya yang keluar dekat wajahku.
Tak ada perubahan yang berarti meskipun polisi sedang mengincarnya, Kadang ingin aku memberi tahu polisi tentang persembunyian suamiku tapi aku juga tidak ingin malu dan mental anak anakku terganggu. Karena nanti akan diejek punya ayah seorang Narapidana.
“Kau tidak suka kan kelakuan ku? kalau tidak suka angkat kaki dari rumah ini!” ia melepaskan tangannya dari kerah bajuku sambil mendorong ku. Aku terjatuh punggungku sakit sekali, Rosa pacar suamiku duduk manis di salah satu kursi meja makan kami, ia mengenakan rok mini dan tanktop saja, menyulut rokok seolah tak ada salah.
Ketika suamiku bergerak maju, aku berusaha mencegahnya. “Cukup a’, aku keluar dari rumah ini, aku menuju pintu depan, bukan ingin benar-benar berlari. Aku hanya menghindari tangan kaki dan kelakuannya yang menyiksaku juga menyakiti fisikku.
“Kalau kau keluar satu langkah dari rumah ini, aku jatuhkan talak satu, anak-anak dan seisi rumah ini milikku” hardiknya.
Aku menahan langkahku, kembali ke kamar dengan perasaan tak menentu. Tentu saja aku belum siap kehilangan ketiga anakku. Ibuku adalah seorang janda, dan kami bukan keluarga mampu secara ekonomi.
Sehingga tidak mungkin aku pulang kerumah ibu dengan tiga anak ku ini, tentu ia akan keberatan. Karena masih ada dua orang adikku yang menjadi tanggungan ibuku. Otakku berpikir keras, aku mulai tidak tahan dengan keadaan ini, sementara membiarkan ketiga anakku tinggal dirumah ini tentu bukan pilihan, kelakuan ayahnya yang begitu tidak akan bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup mereka.
Otakku beku, jiwaku meradang, fisikku sakit. Aku tidak memiliki kakak lelaki tempat untuk mengadu juga saudara yang lain. Bercerita kepada ibuku juga aku tak sanggup, aku khawatir sakitnya bertambah parah karena terbeban dengan keadaanku.
Siang itu aku menghadiri undangan tetangga di RT sebelah menikahkan anaknya, kebetulan pengantin pria berasal dari kampung yang sama dengan ku Kepahiang. Sebagai orang rantau meski dalam satu Provinsi bertemu dengan keluarga sekampung adalah hal yang luar biasa, serasa melepas rindu dengan kampung halaman.
Sepulang ke rumah aku melihat pakaianku berserakan dan sudah keluar dari lemari. Lemari tempat menyimpan pakaianku sudah kosong semua tanpa terkecuali, bahkan tas dan sandal ku pun bertumpuk disana.
Entah apa tujuan suamiku ingin membuang atau membakar pakaian ku itu. “Kenapa Bu, ada maling kayaknya” kata anak ku yang ke dua. “Mungkin saja, ajak adik main ya sambil nonton tv” perintahku padanya.
Aku membereskan pakaian yang berserakan di lantai, semua pakaian milikku, aku tidak menyusunnya kembali di lemari hanya masuk ke keranjang kosong dan kardus bekas, meletakkannya ke pinggir dinding.
Perasaanku pun berkecamuk, aku merasa begitu rendah dan hina. Pengorbananku tiada berarti perjuanganku begitu tak bernilai. Amat sangat tak berharga dan bencinya suamiku kepadaku, padahal sejak ia melamarku 8 tahun lalu aku meninggalkan ibu dan adik-adikku.
Dahulu aku adalah tulang punggung keluarga, membantu adik- adikku sekolah. Setelah menikah aku berharap dapat membantu meringankan berat beban yang dipikul, namun semua berbalik kehidupan rumah tanggaku tidak seperti harapan kebanyakan orang. Aku selalu ikhlas sambil berdo’a dan berharap suami ku akan berubah seiring waktu namun semua itu sepertinya belum terjadi padaku.
Suamiku bersikap semaunya saja. Kesabaran bukanlah cakerawala yang tiada berbahas Sementara kau bagai ombak di laut lepas datang dan pergi semau sendiri Mestinya kau tahu Karang yang kokoh sekalipun akan luluh lantak di terpa badai dan gelombang punah menjadi kerikil dibawa ombak ketepian…. Tulisku di secarik kertas.
Aku menolak segala rasa, pertimbanganku telah matang. Siang yang terik selepas menjemput anak dari sekolah, selepas kejadian kemarin aku tidak berbuat apapun. Hanya menyiapkan kemungkinan, satu kesempatan.
Jika kesempatan itu tak diraihnya maka aku akan berkorban hari ini. Aku terlambat memasak karena memang aku mencari uang dulu untuk memasak dirumah, berjualan digerbang sekolah siang tadi.
Aroma bumbu memenuhi ruangan, aku memasukkan ayam ke dalam kuali. Tiba-tiba seisi dapur berantakan, suamiku mengomel dan marah-marah lagi. Karena sudah jam 1 siang lewat tak ada lauk dan nasi dimeja makan.
Sarapan indomie pagi tadi tak cukup mengganjal perutnya. Tangannya mulai ingin beraksi. Aku menangkalnya dengan sendok yang digunakan mengaduk masakanku di kuali.
“Sudah jangan sentuh aku, kalau memang kau tak suka lagi, pulangkan aku sekarang” tantang ku sambil menatap lekat tepat di matanya. Aku melawan hatiku telah letih, belum pernah aku menghardiknya sekeras ini. Aku mematikan kompor. “Ok, aku pulangkan kamu ke rumah ibumu sekarang! Bersiaplah!” suamiku tak kalah arogannya.
Aku hanya mengambil dua lembar baju. Tak sempat memeluk anak-anakku. Karena suamiku sudah bergegas menitipkan anak-anakku ke rumah sepupunya yang tinggal tidak berjauhan dengan kami.
Kekecewaanku telah begitu dalam, rasa cintaku telah sirna, langit siang itu mencekam panas terik sekali, air mataku tak lagi mau menetes, harapanku telah punah dan luluh lantak ditelan penghianatan.
Harga diriku telah dibuang di balik gaun perempuan malam kelas teri itu. Rasa hormatku telah hilang bersamaan dengan polisi yang sekarang mengincar suamiku sementara ia tidak berniat untuk berubah dan memperbaiki diri. Aku punya harapan dan masa depan yang masih bisa kuraih, usiaku baru 28 tahun 8 tahun yang terbuang sia-sia.
Akh tidak, aku punya buah hati yang cantik dan manis. Akan ku korbankan hari ini untuk menata masa depan dan esok bagi anak-anak ku yang lebih baik. Pujuk rayunya dijalan tak lagi kudengar, ancaman-acamannya tak lagi kutakuti.
Aku yakin tiba saatnya putra-putriku akan kembali ke pangkuanku. Memahami keadaan ini adalah perjuangan, bukan sekedar meninggalkan dan melepas tanggung jawab.
Apa dayaku selain menyelamatkan dulu diriku menata kehidupan lagi agar dapat meraih anak-anakku. Perjuanganku adalah untuk pembuktian, seorang sampah yang tak kau anggap, perempuan yang tak berharga bagimu, akan indah dan menjadi berlian yang berharga jika menemukan orang yang tepat.
Dan ketika kau menyadari semuanya sudah terlambat karena telah ada hati yang begitu tulus mencintaiku, memperlakukan aku sepenuh hatinya. Jika waktu dapat diulang Aku tau kau akan memperbaiki keadaan Menikmati kasih sayangku yang begitu rumit memperjuangkan cintamu.
Namun itu hanyalah harapan kosong bagiku gelas yang pecah tak mungkin bisa diperbaiki Seperti apapun dipoles tidak akan utuh seperti semula. Aku menata kehancuran hingga berdiri tegar seperti sekarang ini tidaklah mudah.
Saat kau buang aku seperti sampah pengajuan dan permohonan bagiku tak berarti, hatiku telah terlanjur tertutup Memang aku bersalah pada keadaan Ketika fisikku tak mampu bersentuhan mendidik putra putri kita Aku yakin do’ a seorang Ibu mampu menembus langit.
Aku yakin mereka membawa takdir sendiri
Aku yakin mereka membawa takdir sendiri nasibnya juga akan sangat baik walau waktu dan keadaan memisahkan. Aku tidak pernah menyesali keputusanku juga hidup bersamamu walau hari ini aku masih berjalan di lorong-lorong sepi hatiku sepi, jiwaku hampir mati suri. Karena kehilangan canda tawa mereka. Aku yang pernah melawan lemahnya hati menolak rasa itu dan pergi meninggalkan keadaan.
Berpisah adalah pilihan, karena suamiku benar benar menceraikan aku didepan Ibu, nenek dan adikku. Dan memutuskan secara sepihak, hak asuh adalah miliknya, karena keluargaku miskin tidak mungkin mampu untuk membiayai makan dan sekolah anak anakku.
Memang keluarga suamiku cukup berada ayahnya bekerja di pulau jawa dengan gaji yang cukup besar, dan memiliki kebun dan sawah di beberapa tempat. Mungkin karena keluarganya cukup mampu secara ekonomi makanya ia selalu bermalas – malasan karena mereka kebiasaan manja.
Orang tuanya yang sibuk kurang mendidik secara kelakuan, hanya memberi berapa nominal uang yang anak anaknya butuhkan. Dulu ketika baru menikah kami selalu dapat transferan dari mertuaku yang bekerja di pulau jawa.
Namun tiga tahun belakangan mertuaku tidak pernah mengirimi kami lagi karena ia sudah punya istri muda. Rupanya suamiku membawa anak anak ke tempat Papanya di Pulau Jawa, aku tidak tahu jelas nama kota dan alamat mertuaku bekerja sekarang, Kalau dulu ia bekerja di Perusahaan Konstruksi di Kota Cirebon. Namun setelah menikah lagi kudengar ia ikut ke Kampung Istri Mudanya.
Mama mertua perempuanku telah meninggal 4 tahun sebelum kami menikah aku hanya bertemu Mama tiri Suamiku dan kami tidak begitu akrab, apalagi setelah ia dimadu ia sama sekali tidak lagi pernah menanyakan kabar kami. Alasan utama suamiku pergi karena ia tak nyaman lagi di Bengkulu, statusnya adalah buronan polisi.
Tinggal dirumah ibu tidak membuatku merasa nyaman karena aku selalu memikirkan anak anakku, aku mulai mencari cari pekerjaan namun gajinya semua kecil di kampung ini. Akhirnya aku kembali ke Bengkulu Ijazah SMA dapat kugunakan untuk melamar pekerjaan, rasanya aku layak mendapatkan pekerjaan yang sesuai setelah 8 tahun aku tidak menjadi diriku sendiri, aku benar benar telah ketinggalan teknologi.
Beruntungnya sewaktu sekolah dulu aku sempat belajar komputer dan mengikuti kursus, selebihnya tidak ada keterampilan lain yang menunjangku untuk mencari pekerjaan. Hidupku benar benar terpuruk, hancur, malu, tak punya uang, tak ada fasilitas bahkan tempat tidur dan peralatan masak, aku menjual gelang emas tabunganku untuk menyewa sepetak kamar dan sisanya untuk persiapan makan sebelum aku dapat pekerjaan.
Aku mulai dari nol hanya keyakinan yang ada bahwa Allah SWT senantiasa akan membantu umatnya dan memberikan rezeki. Tidak ada air mata yang menetes di mataku lagi meski aku sudah kehilangan segalanya, kehilangan anak anak, kehilangan suami, kehilangan rumah, namun aku tidak Kehilangan kepercayaan diri dan keyakinan.
Do’aku agar suatu hari aku dapat memeluk erat putra putriku, mempunyai kesempatan untuk merawat mereka. Berharap mereka tidak membenciku karena aku memilih meninggalkan mereka disaat mereka masih butuh kasih sayangku.
*Penulis merupakan Kepala Biro Wartawan jejakdaerah.com, tinggal di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.
Cerita ini hanya Fiksi semata, adapun nama dan tempat bila ada yang sama hal itu merupakan sebagai referensi penulis dalam menulis.