Oleh Benny Hakim Benardie
Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk merekonstruksi kembali sejarah Tanah Bangkulu, dengan mengungkapkan berbagai fakta sejarah yang tersimpan didalam berbagai naskah klasik, mengungkapkan perjalanan panjang anak negeri Lu-Shiangshe. Sebuah negeri yang berada di muara/pinggir laut Kecamatan Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara, yang pernah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok masyarakat (Etnik) suku Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang.
Kerajaan Maritime
Dalam perkembangannya, negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan di Nusantara banyak yang tumbuh dan berkembang, bahkan yang tenggelam hilang sama sakali. Hilangnya kerajaan-kerajaan itu dapat disebabkan oleh bencana alam, wabah penyakit dan akibat perang. Fktor-faktor inilah antara lain yang menyebab banyaknya nama-nama kerajaan atau negeri pada masa lalu yang sudah tidak jelas lagi dimana letak dan wilayah kekuasaannya.
Namun sebagian nama-nama kerajaan dan negeri yang disebut-sebut dalam berbagai kronik-kronik atau naskah klasik, terutama naskah yang berasal dari orang-orang asing yang pernah mengunjungi negeri Nusantara pada masa lalu, masih dapat ditemukan kembali. Namun tidak sedikit pula nama-nama kerajaan atau negeri itu, sulit untuk ditelusuri dan ditemukan kembali. Hal itu dikarenakan telah berubah nama dan atau nama negeri itu sudah tidak di wilayah negeri yang dimaksud semula.
Kerajaan-kerajaan pesisir (Kerajaan maritime) seperti kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn, kerajaan ini juga disebut-sebut telah memindah-mindahkan ibunegerinya berulang kali. Diantaranya ke Lamby (Jambi) dan selanjutnya mendapat serangan dari kerajaan Tarumanagara pada Tahun 683/5 M. Sebelum kembali ke Kampar (Cri Indrapura). Posisi letak Kerajaan Malayu Cri Indrapura (Kerajaan pertama yang didirikan) itu hampir sama letak dan posisinya dengan bentuk kota di Kerajaan Hindhu Tarumanagara yang berada di Provinsi DKI Jakarta.
Kerajaan itu disebutkan memiliki pelabuhan laut dan pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang (Jong berukuran besar) dan ibunegerinya bernama Cri Indrapura menghadap kelaut. Kapal niaga banyak yang berasal dari Palung (Birma), Phatani (Siam), Jarai dan Khmer (Champha=Kamboja), Hyunan dan Kanton (Cina), Jepang dan Mindanao (Philipina). Untuk orang Mundari (India) sedikit sekali. Naskah lain menyebutkan, bahwa orang Jarai (Champha) paling banyak tinggal di kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn.
Diantara tujuh negeri itu ada pula yang berkembang menjadi kerajaan besar dan kuat, diantaranya adalah Tarumanagara, Phalimbham, Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ dan Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn itu sendiri. Sebagian lainnya menjadi kerajaan kecil seperti Kutei dan kerajaan Phã-mnalä-yû Tulang Bawang. Bahkan ada kerajaan/negeri yang tenggelam dan hilang sama sekali (Tidak berkembang) seperti halnya Lu-Shingshe di Provinsi Bengkulu.
Keberadaan negeri-negeri itu juga banyak diungkapkan dalam peta-peta klasik. Diantaranya dalam peta yang dibuat pada tahun 127–151 M oleh Claudius Ptolomeus, seorang bangsa Yunani, kelahiran Iskandariah Mesir dan tinggal di Alexandaria. Peta kuno lainnya yang ditemukan pada tahun 165 M menyebutkan adanya “Golzden Chersonese , Pulau Emas di Jabadiou”. Kata Jabadiou itu diambil dari bahasa Sanskerta, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Jaba + diou. Jaba artinya sama dengan enjelai atau kacang-kacangan dan Diou artinya tanah.
Pada tulisan ini, penulis mencoba untuk merekonstruksi kembali sejarah Tanah Bangkulu, dengan mengungkapkan berbagai fakta sejarah yang tersimpan didalam berbagai naskah klasik, mengungkapkan perjalanan panjang anak negeri Lu-Shiangshe. Sebuah negeri yang berada di muara/pinggir laut Kecamatan Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara, yang pernah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok masyarakat (Etnik) suku Rha-hyang atau Ra-Hyang atau Re-Hyang atau Re-jang.
Chung Ku-o Jen (Sebutan untuk orang China asli) yang pertama kali berlayar ke Tanah Bengkulu pada 185 – 254 tahun Imlek atau 186 – 117 Caka atau 264 – 195 sebelum Masehi (sM) bersama pengungsi Rahib India, Maladewa (Srilangka), China dan Arab.
Etnik Rejang
Rha-hyang artinya Dewa Rha (Ra) yang maha berkuasa. Dalam bahasa Sangsekerta (Sanskrit) dapat diartikan “Penyembahan kembali” (Maksudnya orang yang sudah lama meninggalkan kepercayaannya dan kembali taat menyembah Dewa). Mereka adalah terdiri dari para Rahib (Agamawan) Hindhu yang tersingkir bersama keluarga, akibat adanya pengembangan agama Bhudha pada masa pemerintahan Asoka di India. Komunitas inilah yang menamakan dirinya sebagai Etnik Rha-hyang.
Namun kita belum dapat mengetahui secara pasti, apakah kata Rejang yang dimaksud juga memiliki hubungan atau keterkaitan antara nama etnik yang berada disepanjang sungai Rejang dan suku Rejang yang berada di Kalimantan. Termasuk suku Rejang yang berada di negeri Birma, Thailand, Malaysia, atau dengan tari Rejang dari Bali. Selain itu, dalam budaya dan bahasa China klasik, kita dapat menemukan berbagai istilah dalam bahasa China yang sama. Bahasa itu digunakan dalam menyebut suatu daerah di Tanah Bengkulu.
Kata Rha-Hyang atau Ra-Hyang selanjutnya mengalami evolusi bahasa. Berubah menjadi kata Re-Hyang atau Re-jang.
Kata Rejang tidak saja sekadar menunjukkan nama suatu etnis yang mendiami sebuah negeri, di pesisir barat pantai Bengkulu. Tetapi juga sekaligus menunjukkan adanya aktifitas yang pernah dikerjakan penduduk yang mendiami (Bermukim) di pesisir pantai tersebut. Komunitas pertama yang tiba dan membangun Negeri Lu-Shiangshe (Bengkulu) itu adalah penambang-penambang emas dan batu mulia yang pandai dan gigih.
Dengan demikian penduduk yang bernama etnis Rejang-lah pertama kali mendiami Negeri Lu-Shiangshe (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara). Kata Lu-Shiangshe (Bahasa China klasik) berarti sungai harum atau wangi (Letterlijk). Secara terminologi yang dimaksud dalam Bahasa China tersebut berarti negeri Sungai Kejayaan atau Sungai yang memberi kehidupan/harapan atau Sungai Emas.
Negeri Lu-Shiangshe ini diperkirakan atau setidak-tidaknya telah ada, bersamaan dengan keberadaan Negeri Andripura (Indrapura), Maco (Muko-muko), Tapan (Nampan) dan Ippoh (Getah yang beracun). Negeri-negeri yang telah sejak lama ada di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.
Mengutip buku Sejarah Maritim Indonesia karangan Hakim Benardie, pada Tahun 264–216 sM, para pedagang dari berbagai negeri banyak berdatangan. Seperti dari India, Mala Dewa (Srilangka), China (Hyunan) dan bangsa Arab. Disebutkan dalam naskah klasik, bahwa perdagangan di negeri Lu-Shiangshe telah ramai dan perniagaan dengan menggunakan uang emas (Barter pasir emas).
Suku Rha-Hyang Lu-A(e)bongshe
Pada awalnya, mata pencarian penduduk hanya sebagai penambang emas, batu mulia dan bertani. Tetapi pada Tahun 237 sM semakin ramai dikunjungi para pedagang dari Jazirah Arab dan pada Tahun 225 – 216 sM pendatang dari China (Hyunan China daratan) turut memadati/meramaikan Negeri Lu-Shiangshe. Negeri inipun berubah menjadi sentral perdagangan untuk wilayah India, Maladewa, Lu-Shiangshe (Bengkulu) melalui jalur pelayaran klasik transit Pulau Enggano.
Sementara etnis Hyunan (China daratan) atau Chung Ku-o Jen yang tiba pada Tahun 224 – 233 tahun Imlek atau 147 – 138 Caka atau 225 – 216 sM, juga memproklamirkan diri, mengaku sebagai suku Rha-Hyang Lu-A(e)bongshe (Rejang Lebong).
Sudah menjadi tradisi untuk mengukuhkan suatu nama Etnis atau suku dan sekaligus mengangkat kepala adat atau suku. Dengan melakukan pesta besar-besaran. Biasanya dengan menyembelih hewan kerbau merah dan mereka bersama-sama mendiami Negeri Lu-Shiangshe (264 sM-198 M).
Kata Lu-A(e)bongshe semula berarti anak sungai (Tertier, bukan skunder-sungai), tempat orang suku Rha-Hyang (Rejang) melakukan kegiatan mencari pasir emas dan batu mulia, yang banyak terhampar dipermukaan kedangkalan sungai. Kata Lu-A(e)bongshe. Secara terminology, dapat diartikan sebagai perbandingan dengan kata Dayak atau Da-ayak diambil dari bahasa Phã-mnalä-yû atau Phã-mnalä-yë (Melayu klasik yaitu kata Da-Ayak, artinya yaitu Da = besar , Ayak = menyaring (mendulang), dengan demikian kata DAAYAK berarti “mereka (Pencari mas) yang menggunakan alat pendulang yang besar”.
Kata Lu-A(e)bongshe yang semula artinya mengayak atau mendulang emas, selanjutnya berubah menjadi Lu-A(e)bong (Lebong) yang mempunyai konotasi LOBANG. Hingga sekarang, suku Rejang menyebut lobang dengan kata Lu-A(e)bong. Evolusi bahasa seperti ini terjadi secara umum dalam setiap bahasa daerah di Indonesia, bahkan didunia sekalipun.
*Pemerhati Sejarah Bengkulu /Alumni Universitas Islam Djakarta dari berbagai sumber.