Tanah Bengkulu dan Kebudayaan Abad ke-III sM Hingga ke-XVI M (II)

oleh -37 Dilihat
Rumah Adat Bengkulu.

Oleh: Benny Hakim Benardie  (2 tamat)

 “Paparkan Apa Adanya. Jangan Melestarikan Kebohongan  Fakta Sejarah Bengkulu”. (BHB)

Terkuak “Sejarah Tanah Bengkulu” pada abad ke-III sM Hingga ke-XVI M (264 sM -1575 M) telah sampai pada tingkat kebudayaan. Sebagaimana sebutkan sebelumnya, yaitu aspek kebendaan dan aspek kerohanian. Peninggalan kebendaan maupun kerohanian cukup banyak untuk diungkapkan.

Dalam masyarakat Bengkulu klasik, telah ada suatu kepercayaan (Diambil dari ajaran agama Hindhu) dan juga berlaku bagi pedagang kala itu, bahwa setiap orang wajib menjaga dan memakai/menggunakan kekayaan alam yang tersedia sesuai dengan kebutuhan. Bagi setiap orang yang merusak, akan  dikenakan sanksi seperti denda.

Pada masyarakat Rha-Hyang (Rejang) di Lu-Shiangshe (264 sM-198 M) di Wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, telah ada suatu ketentuan (Hukum Sosial) bahwa “Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap perusakan Lingkungan dan tanaman milik warga, dikenakan sanksi diwajibkan membayar/mengganti sebanyak sembilan (9) kali atau hingga sebanyak 36 kali tanaman yang telah dirusak,

Kewajiban bagi setiap pendulang emas,  baik kelompok atau  perorangan menyembeluh seekor kerbau merah (Kerbau bulu) atau Babi, sebagai persembahan kepada para dewa saat turun mendulang secara masal. Bagi yang tidak mematuhinya akan dikenakan ‘kutukkan’.

Setiap pengacau (perusak) akan mati diterkam harimau (Kutukan) atau buaya. Juga mereka yang tidak membayar atau menyerahkan sebagian keuntungannya (Laba), dinilai sebagai pengacau (Perusak). Rasa takut yang berlebih-lebihan terhadap kutukan ini, telah membuat kepatuhan yang tinggi penduduk di Negeri Lu-Shiangshe.

Dalam masyarakat Rha-hyang (Rejang) di Negeri Lu-Shiangshe, sudah mengenal alat tenun, peralatan rumah tangga seperti periuk, cawan, paso (Pasu), guci, gelas, piring, belangga dan sendok yang terbuat dari grabah dan kayu. Telah mengenal dan pandai membuat alat pertukangan, pertanian dan penangkapan ikan. Alat tukar dalam perniagaan dengan menggunakan emas.

Pada masyarakat di Negeri Pa-Sh’ (Serapas) Tahun 199 M, Pa-U’ (Pauh) Tahun 199-875 M dan Pa-Liu (Palik) Tahun 204 M,  selain telah mengenal usaha pendulangan emas dan batu mulia, masyarakat telah mengenal usaha pertanian dan perikanan sungai (Air tawar) dan laut.

Untuk bidang pertanian, selain bercocok tanam,  masyarakat juga berternak babi dan kerbau.  Bidang perikanan air tawar (Sungai), telah ada ketentuan dalam masyarakat wilayah sungai-sungai yang boleh diambil ikannya (dipanen) dan ada yang dilarang. Sedangkan dalam bidang perikanan laut, masyarakat telah berkembang dan mampu membuat perahu-perahu layar  dalam ukuran menengah, yang mampu mengarungi laut lepas hingga ke Mala Dewa (Srilangka) termasuk berlayar ke Phalimbam di Banten.

Masyarakat Tsa-lu

Pada masyarakat Tsa-Lu (Talo) Tahun 875 M telah ada suatu kepercayaan di masyarakat Tsa-Lu — Kota Talo  lama yang terletak dipesisir pantai dan terletak pada posisi tiga sungai — juga berlaku bagi pendagang masa itu, bahwa setiap pengacau (Perusak) akan mati diterkam harimau (Kutukan). Mereka yang tidak membayar atau menyerahkan sebagian keuntungannya (Laba), juga dinilai sebagai pengacau (Perusak).

Rasa takut yang berlebih-lebihan ini, telah membuat kepatuhan penduduk di Negeri Tsa-Lu   atau yang juga sering disebut dengan Negeri Hu Men-t—Kuil Hu Men-t (Gerbang Harimau  atau  Pintu Masuk (Harimau) dibangun pada Tahun 899 M disekitar kaki Gunung  Dhaempu. Dempo) pada Li Pai San (Hari Rabu) Pa-Kaw-Ciu’ (899  M), oleh orang Tsa-Lu  yang berasal dari negeri Pa-U’ (Pauh).

Berbagai catatan klasik pelaut menyebutkan, gadis Tsa-lu tidak saja cantik-cantik, tetapi juga anggun bila berdandan. Gadis-gadis ini keluar beramai-ramai (Dipekarangan rumah) pada setiap bulan purnama dengan membawa Lampion (Lentera).

Biasanya berlangsung selama tujuh hari, tiga  hari sebelum bulan purnama dan tiga  hari sesudah bulan purnama. Kegiatan seperti ini menurut mereka, menyongsong bulan purnama muncul. Ada kepercayaan, bahwa Dewi Kwan-Im akan muncul pada saat-saat purnama tersebut, maka segala permintaan/keinginan akan terkabul.

Kala itu, juga telah ada kepercayaan (Keyakinan) masyarakat Tsa-Lu, bahwa Gunung Dha-empu (Dempo) sebagai pusat kekuatan spiritual. Tsa-Lu memiliki kesenian kerajinan ukiran (Pemahatan batu dan kayu) dan corak (Motif) yang ditampilkan umumnya masih berbentuk candi, wihara klasik, bunga teratai, burung bangau, binatang rusa, dan dewa-dewa (Penguasa alam gaib) seperti Dewi Kwan-Im (Dewi Sri) dan ukiran harimau dalam bentuk ukiran batu.

Selain itu, masyarakat Tsa-Lu juga telah mengenal budaya ruatan laut (Sedekahan laut) yang dilakukan pada setiap Tahun Baru China (Imlek). Masyarakat juga telah pandai membangun Kuil Chia Huwn (Chia Hun) pada tahun 877 M. Selanjutnya juga membangun sebuah Kuil Hu Men-t (Gerbang Harimau atau Pintu Masuk Harimau) sekitar kaki Gunung Dhaempu (Dempo) pada pada Li Pai San (Hari Rabu) Pa-Kaw-Ciu’ (899 M).

Kuil Hu-Men-t berbentuk terowongan (Lorong) panjang, yang pada setiap sisi jarak antara lima meter, terdapat dua  orang biksu (Shu-Hu) yang saling berhadapan, duduk diantara lorong. Jumlah biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) dalam satu jajaran atau garis lorong sembilan  orang, dengan demikian total biksu atau shu-Hu atau bhanthi(e) yang bertugas dan berada di Lorong kuil seluruhnya berjumlah 18 orang.

Panjang Kuil Hu-Men-t diperkirakan + 45 meter. Sedangkan murid-murid lainnya berada di luar kuil, tidak diperkenankan masuk. Kuil Hu-Men-t menghadap ke Matahari terbenam (Barat). Angka 18 (Sh’-Pa) jika dijumlahkan berarti Sembilan. Angka sembilan adalah merupakan angka keberuntung atau lambang keberuntungan menurut kepercayaan mereka.

 Negeri Tsa-lu Pusat Perdagangan

Negeri Tsa-Lu (Talo) mengulas tulisan penulis sebelumnya “Pengantar Sejarah Tsa-Lu (Talo) Pusat Industri Kapal“ adalah satu-satunya kawasan pesisir barat Pulau Sumatera yang  paling maju dan berkembang pesat. Daerah ini pernah mengalami masa kejayaannya pada Tahun 940 Masehi (Abad ke-X M).

Tsa-Lu merupakan daerah pengembangan Industri Kapal layar pada Abad ke-IX Hingga ke-XI M (875 -1013 M).  Negeri penghasil rempah berkualitas tinggi. Tsa-Lu tidak saja dikenal sebagai pusat industri, tetapi juga sebagai pusat perdagangan. Wilayah merupakan satu-satunya daerah penyanggah perekonomian Pulau Enggano atau OCOLORE (Pulau Kecewa) sebagai kawasan transit di wilayah barat Nusantara.

Saat itu, Negeri Tsa-Lu dikenal sebagai daerah penghasil rempah berupa Adas manis dan Fanile berkualitas terbaik. Karena itu, banyak pedagang asing yang berburu rempah dinegeri ini. Terutama pedagang yang berasal dari Timur Tengah (Jazirah Arab). Mereka sangat menyenangi rempah yang berasal dari Negeri Tsa-Lu. Bahkan sebagian negeri ada yang menyebut dua  macam rempah berkualitas tinggi itu dengan kata Tsa-Lu saja. Seakan kata Tsa-Lu telah berubah (Indentik) menjadi atau sama dengan nama rempah.

Oleh karena itu penulis berpendapat, tidaklah mengherankan bila masyarakat Tsa-Lu pada Abad le-X M telah mengenal sutra China.  Gerabah dan tenunan Thailand. Selain negeri ini sendiri juga merupakan daerah penghasil tenunan (Tenun Tsa-Lu) yang kualitasnya masih jauh dibawah tenunan Siam (Thailand). Namun Tsa-Lu juga terkenal sebagai pengembang kebudayaan tradisional, yang banyak dipelajari orang dari berbagai negeri.

Dari negeri Tsa-Lu inilah selanjutnya banyak negeri-negeri di Bengkulu (Provinsi Bengkulu) berkembang, termasuk Kota Bengkulu yang ada sekarang. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, adanya keterkaitan (Hubungan) masyarakat dengan daerah-daerah atau negeri yang disebut oleh kolonial. Baik Inggris maupun Belanda dalam wilayah Keresidenan Bengkulu dari Indrapura hinga Krui yang kini masuk wilayah Provinsi Lampung.

Tulisan ini hanya paparan singkat utuk mengingatkan anak negeri, kalau Bengkulu memang berjaya sejak zaman dahulu kala.   

 *Pemerhati Sejarah Bengkulu/Alumni Universitas Islam Djakarta.