Catatan Hari Buruh: Cabut UU Cipta Kerja (Deti Murni Penulis Ideologis)

oleh -110 Dilihat

Said Iqbal Presiden Konfederasi Buruh Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan isu yang diangkat pada perayaan May Day. Ada enam poin sesuai nomor 6 Partai Buruh. Pertama cabut Omnibus Law Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kedua cabut parliamentary threshold 4 persen dan ambang batas presiden 20 persen dari suara sah nasional karena membahayakan demokrasi. Ketiga sahkan rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan tolak ‘hostum’ (hapus outsourcing tolak upah murah). Keempat reforma agraria dan kedaulatan pangan anti impor. Kelima tolak RUU Kesehatan. Keenam pilih calon Presiden 2024 yang pro kepada buruh, yang menolak Omnibus Law, UU Cipta Kerja dan yang peduli kepada persoalan kelas pekerja. 

Agenda tahunan May Day menjadi asa para buruh menyampaikan tuntutannya, walaupun asa mereka hanya dianggap seremoni tanpa makna oleh pemangku kebijakan. Demo turun kejalan menyampaikan tuntutan setidaknya memberikan kepuasan para buruh atas kemalangan hidup yang semakin menghimpit. Tidak hanya di dalam negeri bahkan di luar negeri pun aksi ini menjadi agenda Internasional, artinya kesenjangan hidup dirasakan merata di seluruh dunia.

Namun sangat disayangkan aksi ini bertepatan dengan tahun politik, ada kekhawatiran suara para buruh ini akan digiring memilih cawapres tertentu dengan iming janji kesejahteraan. Namun hendaknya para buruh cerdas dalam mensikapi karena aksi ini bukan hanya tahun 2023 dilaksanakan bahkan sudah menjadi agenda tahunan, artinya kesejahteraan tak kunjung menjadi kenyataan walaupun pemimpin negeri silih berganti. 

Bila kita lihat benang merah dari permasalahan buruh ini, tuntutan mereka sangatlah  wajar, meminta kesejahteraan hidup. Sejahtera yang dituntut adalah kebutuhan mendasar terpenuhi seperti pangan, sandang, papan temasuk pendidikan, kesehatan dan keamanan. Tentu ini adalah tuntutan semua orang bukan hanya para buruh.

Bila penghasilan mereka tidak mencukupi semua kebutuhan mendasar ini maka tentu saja akan terjadi permasalahan sosial lainnya, seperti tingginya tingkat kriminal. Ini adalah efek domino dari rendahnya tingkat kesejahteraan.

Dengan adanya agenda rutin ini seharusnya tuntutan para buruh ini dapat terfasilitasi dan harapan besar para buruh dapat terealisasi. Namun faktanya tuntutan tersebut hanya menjadi tuntutan kosong yang tak bisa dipenuhi. Hal ini terus berulang, bila bijak menyikapi permasalahan utama para buruh ini adalah masalah upah. Tapi mengapa masalah ini tak kunjung usai? 

Bila ditanya siapa yang paling bertanggung jawab atas masalah ini?  Sistem kapitalisme yang diterapkan negara adalah akar  dari masalah ini. Negara hanya menjadi fasilitator dan regulator para pemilik modal dengan para buruh. Bila kita kaitkan dengan sistem politik negara yang berbiaya tinggi, celah ini dimanfaatkan para kapital yang kongkalingkong dengan penguasa untuk membuat regulasi sesuai dengan kemauan para kapital.  

Bila sudah begini tentu peraturan yang dibuat, akankah berpihak kepada buruh? Ditambah prinsip ekonomi dalam sistem kapitalisme adalah “Dengan modal yang sekecil-kecilnya mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Jadi dapat dipastikan antara tuntutan buruh dan keinginan pemilik modal tidak akan terpenuhi dalam sistem kapitalisme ini. Para kapital/pemilik modal menekan modal (upah) seminimal mungkin sementara buruh menginginkan sebaliknya.

Sistem kapitalisme ini melanggengkan perbudakan modern dan sayangnya negara justru menjadi fasilitator dan regulatornya dengan UU Ciptaker. Buruh diekspoitasi untuk meningkatkan volume produksi demi keuntungan para pemilik modal, sementara kesejahteraan pekerja diasosiasikan sekedar dengan kenaikan upah yang tak seberapa.

Adanya demo buruh dan tuntutan kenaikan upah di dalam negeri dan berbagai negara maju lainnya menegaskan bahwa selama sistem kapitalisme masih menjadi pijakan, tidak akan ada kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Sejahtera hanya milik kaum kapitalis, sehingga perbandingan masyarakat kaya dengan masyarakat miskin sangat jomplang dalam sistem ini. 

Dimana peran negara? Seharusnya jika terjadi permasalahan antara pihak buruh dan pengusaha  mestinya negara hadir untuk meri’ayah. Namun dalam sistem kapitalisme ini justru negara hanya sebagai regulator semata.

Bagaimana Permasalahan buruh dalam Islam?

Dalam daulah Islam pemenuhan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan menjadi kewajban negara untuk memenuhinya. Negara wajib menyediakan beragam Infrastruktur dan fasilitas yang memungkinkan semua rakyat bisa menikmati semua kebutuhan mendasar tersebut. Semua rakyat berhak merasakan dan menikmatinya baik yang kaya maupun miskin tak terkecuali termasuk para pekerja/buruh. Ini adalah bentuk ri’ayah negara kepada rakyatnya bukan dalam rangka jual beli yang mencari keuntungan semata. 

Berdasarkan hadist Rasullulah fungsi pengusa dalam Islam ada dua yaitu sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (perisai/pelindung). Rasullulah bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusannya.” (HR. al-Bukhari) dan juga dalam hadist yang lain “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang dibelakangnya (mendukung) dab berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Dalam hal aqad antara para pekerja/buruh dengan pengusaha landasannya adalah aturan syariah. Upah pekerja hanya ditetapkan berdasarkan seberapa besar nilai manfaat yang bisa diberikan pekerja kepada para pemberi kerja. Jika manfaat yang diberikan pekerja dirasa memberi manfaat besar maka upahnya akan sebanding dengan besaran manfaatnya, begitupula sebaliknya.

Perusahaan tidak dibebani dengan penetapan upah berdasarkan kepada harga barang dan jasa. Upah juga tidaklah dinilai berdasarkan pada kebutuhan dasar pekerja atau yang biasa kita kenal dengan upah minimum untuk provinsi, kabupaten/kota dan sektoral yang berlaku dalam sistem kapitalisme.

Inilah gambaran ideal yang semestinya dijalankan oleh negara. Jaminan kesejahteraan ini hanya dapat ditemukan saat syariah kaffah ditegakkan dalam bingkai sebuah negara yaitu khilafah Islamiyah

Wallahua’lam bish-showwab.