Kepahiang, www.jejaksaerah.com – Setelah sebelumnya menjalani serangkaian proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu, atas kasus dugaan pencabulan yang dilakukannya terhadap salah seorang santri tahun lalu. Oknum pimpinan yayasan salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Kabupaten Kepahiang, SW kembali menjalani persidangan di PN Kepahiang dengan agenda vonis yang diketuai oleh majelis hakim Hendri Sumardi, Rabu (17/5/2023).
Dalam vonis yang dibacakan Majelis Hakim, terdakwa oknum pimpinan yayasan Ponpes tersebut dijatuhi vonis 6 tahun penjara, ditambah denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara.Vonis yang dibacakan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kepahiang yang menuntut 8 tahun penjara.
Namun Bastian Ansori,SH selaku PH Korban berharap kepada Penuntut Umum Kejari Kepahiang untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bengkulu karena menilai tuntutan 6 tahun penjara tersebut masih dalam kategori ringan.
” Kami selaku PH korban berharap kepada Penuntut Umum Kejari Kepahiang untuk mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Bengkulu, karena putusan 6 tahun penjara tersebut masih dalam kategori ringan untuk perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur,” ujar Bastian..
Sementara itu terkait vonis yang dibacakan majelis hakim, Penasehat Hukum terdakwa Dede Frastien,MH mengatakan bahwa dirinya akan melakukan koordinasi dulu dengan klien kemudian masih ada 7 hari atas perintah Undang-undang untuk melakukan upaya hukum banding.
” Namun terkait upaya hukum banding ini kita belum tau apakah klien kita mau atau tidak untuk banding kita sampai detik ini belum melakukan koordinasi,” sampai Dede.
Dan terkait putusan 6 Tahun denda Rp 50 juta dengan subsidair kurungan 3 bulan penjara menurut PH terlalu berat untuk kliennya. Karena saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU merupakan saksi testimonium de auditu yang mana saksi saksi tersebut adalah saksi-saksi yang mendengar kesaksian saksi dari orang lain bukan saksi yang melihat dan mendengar langsung. Kemudian dakwaan yang diberikan menggunakan Undang-undang Perlindungan anak yang mana pembuktiannya juga menggunakan KUHAP pasal 184 ayat 1 yaitu tentang 2 alat bukti yang harus dipakai dapat menjadikan seseorang sebagai tersangka. ” Namun perspektif yang dipakai oleh majelis hakim adalah perspektif UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mana hanya dengan satu alat bukti dan diperkuat dengan keterangan korban dapat mempidanakan seseorang nah itu yang tidak boleh nah menurut kami kejanggalannya soal itu, dan apa yang dihadirkan di persidangan perbuatan itu tidak terbukti,” terang Dede. (Fro)