Empat Lawang, JejakDaerah.ID – Warga yang telah menyerahkan lahan mereka ke PT Galempa Sejahtera Bersama (GSB) terus menuntut kejelasan mengenai realisasi plasma 30 persen yang dijanjikan sejak 2013. Hingga kini, janji tersebut masih belum terwujud, menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat setempat.
Berdasarkan informasi dari situs resmi PT Galempa Sejahtera Bersama, perusahaan ini berdiri pada Januari 2012 dan diakuisisi oleh ANJA (Austindo Nusantara Jaya Agri) pada Mei 2012. PT GSB memiliki izin lokasi untuk area seluas 12.800 hektar di Kecamatan Ulumusi, Empat Lawang, Sumatera Selatan, dengan 724 hektar di antaranya telah ditanami dan 589 hektar sudah berproduksi.
Seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan kekecewaannya.
“Tanah saya sudah sejak 2013 diserahkan ke PT GSB. Sudah ditanam dan menghasilkan, tetapi sampai saat ini belum ada plasma 30% yang dijanjikan saat penyerahan lahan waktu itu,” ucapnya.
Menurut warga, sejak 2020, perusahaan hanya memberikan solusi plasma dengan nominal antara 25 ribu hingga 50 ribu rupiah per hektar per bulan, yang disalurkan oleh petugas koperasi perusahaan. Namun, janji plasma 30 persen terus tertunda dengan alasan menunggu selesainya proses HGU (Hak Guna Usaha).
“Kami merasa dirugikan dan ditipu oleh pihak PT GSB ini. Sudah puluhan tahun lahan kami diserahkan, tapi tidak ada kejelasan. Sementara buah kelapa sawit yang dihasilkan sudah mencapai ribuan ton per bulannya. Kemana uangnya? Siapa yang diuntungkan?” ujar warga tersebut dengan nada kecewa kepada media.
Menanggapi polemik ini, Ketua Organisasi FKDM Kecamatan Ulumusi, Ahmad Maulana, turut angkat bicara. Ia menegaskan bahwa masalah ini harus ditindaklanjuti secara serius agar kepastian hukum dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
“Polemik masyarakat dengan perusahaan sawit di Ulumusi harus segera diselesaikan. Masyarakat sudah sewajarnya menuntut adanya plasma 30% sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian. Tuntutan ini harus dipenuhi sesuai aturan,” ujar Ahmad Maulana.
Tim media juga menyoroti permasalahan perizinan sebagai aspek substansial dalam kasus ini. Pembebasan lahan terus berjalan, dan ada dugaan bahwa lahan yang digunakan merupakan milik masyarakat setempat.
“Kami berharap sinergi antara pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan pihak terkait dapat terjalin dengan baik dan sesuai aturan yang berlaku. Kami dari media masih dalam upaya konfirmasi lebih lanjut terkait isu ini,” tutup Ahmad Maulana.
Persoalan ini menjadi sorotan utama, mengingat dampak besar yang ditimbulkan bagi masyarakat yang telah lama menunggu kejelasan janji perusahaan. Harapan warga kini terletak pada tindakan tegas dan nyata dari pihak berwenang serta perusahaan terkait, untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi. (*/rls/jk)